Marwah Jurnalis diantara Peraturan Dewan Pers dan Era New Media -

Marwah Jurnalis diantara Peraturan Dewan Pers dan Era New Media

0
Spread the love

JAKARTA, suaralintasindonesia.com – Baru-baru ini Dewan Pers telah menurunkan Peraturan Dewan Pers Nomor 01/Peraturan-DIP/X/2022, Tentang Pengelolaan Akun Media Sosial Perusahaan Pers.

Seperti kita ketahui, di Indonesia media siber berkembang dengan begitu pesatnya, termasuk menggunakan platform digital medsos sebagai sarana penunjang marketingnya. Masyarakat pun terkadang bingung atas berita yang diserapnya, apakah berita tersebut valid atau merupakan Hoax, karena masyarakat memang lebih akrab dengan medsos dibanding dengan Media Siber, yang juga bercampur dengan berita medsos dari masyarakat yang belum jelas kebenarannya.

Pada faktanya, medsos bukan hanya milik masyarakat perorangan, melaikan juga merupakan bagian dari strategi media siber dalam membangun kekuatan pasarnya di masyarakat. Tentunya yang menjadi sorotan Dewan Pers adalah menata fenomena yang terjadi ini, sehingga mampu menekan pembiasan akibat hal tersebut yang selama ini terjadi dalam jurnalisme Nasional.

Dengan terbatasnya literasi di masyarakat awam mengenai konsep berita, sebagian besar masyarakat yang tentunya tidak memahami konsep tersebut. Media sosial dianggap lebih mengena bagi targetnya baik dalam bentuk reader maupun audience sebagai berita yang valid, karena pada umumnya “berita” meluncur lebih cepat, dan sebagian besar langsung hadir tanpa adanya filter melalui berbagai platform seperti Facebook, Tiktok, Twitter, dan lain sebagainya.

Celakanya jika pengguna media sosial yang tidak bertanggung jawab mengangkat berita yang belum tentu kebenarannya, sehingga berpotensi mengacak-acak stabilitas dan keutauhan bangsa dan negara di masyarakat untuk suatu kepentingan, seperti kepentingan politik maupun bisnis misalnya.

Belum lama ini saya mengikuti sebuah pelatihan jurnalistik dengan tema Introduction to Digital Journalism yang diselenggarakan oleh Kantor Berita Inggris Reuters, yang disponsori oleh Meta Journalism Project. Sebagai masyarakat awam pun saya melihat adanya sponsorship tersebut adalah kepentingan dari grup Meta yang menguasai banyak Platform terintegrasi, merangkul Reuters dan mensponsori pelatihan tersebut sehingga mau tidak mau, suka tidak suka para jurnalis menggunakan platform-platform digital yang dilansir oleh grup Meta.

Namun inti dari itu semua adalah merupakan langkah transformasi yang sudah dan sedang terjadi di berbagai belahan dunia dalam hal jurnalisme, khususnya jurnalisme digital yang kerap disebut New Media. Jangankan di Indonesia, di negara maju pun sering terjadi penyimpangan atas pemanfaatan medsos sebagai sarana pendukung media siber. Untuk itu rupanya grup Meta yang cepat tanggap segera ambil bagian dalam sistem jurnalisme Internasional agar para jurnalis di seluruh dunia memanfaatkan platform digital mereka.

Menyikapi hal tersebut diatas, langkah yang dilakukan Dewan Pers relevan dengan apa yang terjadi di dunia digital yang mengglobal ini. Tinggal bagaimana menyosialisasikan peraturan tersebut kepada media-media secara umum dan para Jurnalis secara khusus, terutama bagi media siber yang bersentuhan langsung dengan pemanfaatan platform medsos digital, serta menjadi transformator antara jurnalisme klasik menuju jurnalisme digital.

Penggunaan medsos sebagai marketing tools media siber pun sering menjadi bias. Bahkan di media siber yang terverifikasi saja sering menggunakan click bite sehingga masyarakat sering kecewa dan menjadi salah persepsi ketika membaca judul yang sensational dan tidak relevan dengan kontennya.

Jika kita melihat dari aspek industri berita, teknologi Artificial Intelligence atau AI yang merupakan kecerdasan buatan sudah memasuki dunia jurnalisme. Di media-media besar dunia seperti BBC, Bloomberg, Washington Post, sudah menggunakan Teknologi Artificial Intelligence yang disebut Robotic Process Automation atau RPA. Artinya, secara global media merupakan bisnis yang berprospek luar biasa.

Bisa kita bayangkan, sebuah media bisa dengan cepat dan akurat dalam membuat berita yang berjumlah ratusan bahkan ribuan per hari dari berbagai belahan dunia berdasarkan data yang dianalisa oleh AI menjadi berita yang kompak, dan sudah mentukan target market dan target audiencenya masing-masing. Seperti sebuah industi manufaktur yang memroduksi barang benda atau tangible product.

Disinilah pentingnya pemahaman seorang penulis dalam hal ini jurnalis pada khususnya, agar menguasai kaidah-kaidah jurnalistik klasik, sehingga secanggih apapun teknologi berkembang, nyawa berita tetap akan hadir dalam bentuk karya jurnalistik dari seorang jurnalis yang memiliki marwah dalam bentuk kekayaan intelektual dan kode etik jurnalistik yang dipegangnya.

Sedangkan peran Dewan Pers yang selayaknya menjadi katalisator jurnalisme Indonesia, mampu menata serta menyinergikan antara jurnalisme yang dibangun secara positif dan kebutuhan masyarakat terhadap pemberitaan secara optimal, serta berorientasi untuk mencerdaskan bangsa.

Indonesia kini sudah menjadi rimba belantara berbagai platform digital, dan jurnalisme menjadi bagian di dalamnya. Peraturan yang diturunkan oleh Dewan Pers relevan dengan situasi dunia digital yang berlaku secara global. Permasalahannya adalah, pentingnya kapasitas dan kapabilitas para jurnalis yang dituntut ikut berpacu seiring kemajuan teknologi tersebut.

Pemahaman kaidah-kaidah jurnalistik klasik tidak akan pernah menjadi obsolete atau usang dimakan jaman. Justru disitulah letak marwah jurnalis yang sejati. Meski teknologi sebagai sarana penunjang intelektualitas bergerak tanpa henti, spirit seorang jurnalis tetap bersemayam di hati.

Ruly Rahadian

Penulis adalah Pemerhati Perang Asimetris

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!
/