% -

PERANG MANEUNGTEUNG Perang Santri Dan Masyarakat Waled Mengusir Belanda Tahun 1947-1948 (Refleksi Hari Pahlawan, menguak sejarah yang hilang)

0
Spread the love

Bagian 1

Oleh : MUSTOPA

Cirebon Timur, suaralintasindonesia.com – Kalau kita jalan-jalan ke Cirebon Timur mampirlah ke Bukit Maneungteung yang ada di Kecamatan Waled, di sebelah timurnya membelah ada jalan raya Cirebon-Kuningan dan Aliran Sungai Cisanggarung. Maneungteung juga merupakan destinasi wisata yang aduhai kalau hari minggu ramai tempat berolah raga dan tempat berwisata. Kurangnya kesadaran dan kepedulian pemerintah mengenai sejarah bukit Maneungteung menggugah saya sebagai penulis ingin lebih tahu tentang Perang Maneungteung, karena di atas bukit Maneungteng berdiri tegak patung pahlawan besar yang hampir tidak terurus.

Pintu Masuk Belanda Ke Kecamatan Waled

Belanda masuk ke wilayah Waled melalui jalur Losari Berebes Jawa Tengah kemudian masuk ke wilayah Ciledug. Tentara NICA datang dengan misi yang sangat jelas yakni menghancurkan Pertahanan Tentara Keamanan yangsaat itu saat membahayakan keberadaan Belanda.

Tahun 1947 Belanda datang gengan tujuannya menghancurkan seluruh kekuatan elemen Islam serta ingin merebut kembali kekuasaan wilayah tersebut. Kedatangan Belanda di Kecamatan Waled bertepatan dengan datangnya bulan Ramadlan pada hari Jumat didahului dengan membentuk dua markas di Kecamatan Ciledug. Yang pertama di gedung Waluhan (sekarang dipakai sekolah mengemudi) Ciledug Kulon dan satu lagi berada di beberapa gedung sepanjang jalan depan balai desa Jatiseeng Kidul (sekarang jadi gedung walet). Pasukan NICA di Ciledug dibekali dengan senjata yang cukup lengkap diantaranya, tank baja, kanon, dan mortar. Perlengkapan-perlengkapan tersebut digunakan oleh tentara NICA untuk menembus pertahanan pasukan Hizbullah yang sangat terampil di perbukitan Maneungteung perbatasaan Cirebon- Kuningan.

Kemudian pihak Belanda membentuk laskar Po An Tui (yang pada saat itu banyak warga keturunan China yang tinggal di sepanjang jalan Raya Waled), dengan liciknya Belanda mengadudomba antar penduduk asing (Arab dan India) dengan penduduk Cina (Kuomintang). Belanda membentuk barisan Cina dengan nama Po An Tui. Organisasi yang bernama “Po An Tui” yang artinya barisan penjaga keamanan.

Aksi-aksi kekerasan yang dilakukan Po An Tui sebenarnya di profokasi oleh NICA (Nederland Indie Civil Administration) yang ingin menjatuhkan reputasi Republik Indonesia di dunia internasional. Yang sangat disayangkan bahwa rakyat Indonesia tidak menyadari akan adanya perangkap tersebut, yakni dengan adanya sekelompok etnis Tionghoa yang mendirikan sebuah kelompok untuk menjaga diri dan keamanan mereka.

Dalam perkembangannya sebagian dari anggota Po An Tui merasa sakit hati dan dendam dikarenakan terdapat keluarganya yang menjadi korban, sehingga hal tersebut di manfaatkan oleh pihak Belanda untuk mendapat dukungan dari pihak luar, dan kemudian berhasil dibujuk dan dipersenjatai oleh pihak Belanda untuk bersama-sama menghadapi perlawanan dari pihak Indonesia. Hal inilah yang kemudian menjadi stigma negative pertama bagi etnis Tionghoa yang selama bertahun-tahun, seolah-olah seluruh etnis Tionghoa reaksioner, pro NICA dan juga menentang Republik.

Si Hok Tjawan, dalam sebuah tulisannya menegaskan bahwa Po An Tui dibentuk di Jakarta. Kemudian dalam memoarnya mendiang Oei Tjoe Tat ditegaskan bahwa anggapan Po An Tui sebagai kaki tangan Belanda tidak benar adanya.Po An Tui ciptaan Sutan Sjahrir dari Republik dan Oei Kim Sen dan kemudian menjadi komandan Po An Tui yang bertujuan sebagai membantu keamanan, hal tersebut dibenarkan oleh Soebadio Sastrosatomo tokoh PSI dan tangan kanansutan Sjahrir. Po An Tui Jakarta sebenarnya tidak pernah berkolaborasi dengan pihak-pihak Belanda, bahkan mereka sebaliknya menjadi golongan yanng anti- Belanda. namun dengan adanya isu-isu yang berhembus bahwa mereka adalah kaki tangan Belanda yang menjadikan kemungkinan peran pertama laskar Po An Tui di Cirebon dalam menuntun Belanda. sehingga menghancurkan kekuatan militan Islam, dikarenakan pada saat itu wilayah Cirebon timur digunakan sebagai pusat konsentrasi dan penggalangan pasukan dan santri. Hal tersebut jugalah menjadi alasan Belanda menggempur wilayah Cirebon Timur tepatnya di Kecamatan Waled .

Beberapa pihak China yang bergabung dengan pasukan Belanda dan NICA sehingga membuat laskar Po An Tui di Kecamatan Waled, tidak ditemukan data mengenai penyerangan yang dilakukan pihak China namun hanya saja mereka menunjukan tempat-tempat persembunyian masyarakat pribumi, dengan bertujuan agar mereka tidak ikut diserang seperti layaknya warga pribumi.

Serangan Dahsyat Belanda Ke Waled

Dalam peristiwa Agresi Militer, kecamatan Waled adalah salah satu dari sekian banyaknya daerah yang juga mengalami penyerangan dari pihak Belanda. Tahun 1947 Belanda melancarkan serangannya dari daerah Babakan dengan menggunakan kanon sehingga tidak sedikit warga sipil yang terluka, pertempuran itu terjadi selama 2 malam di sepanjang jalan raya Waled. Untuk menghindari korban berjatuhan maka warga pribumi diungsikan ke daerah Legok yang berada di Kabupaten Kuningan. Dalam hal ini semua pasukan pengamanan disiagakan di sebuah bukit yang bernama Bukit Maneungteung yang berada di perbatasan Kuningan-Cirebon.

Bukit Manuengteung merupakan daerah yang strategis, sehingga bukit tersebut diperebutkan oleh tentara Belanda dan TNI, karena berada disebelah jalan utama penghubung Jawa Barat (Kuningan) dan Jawa Tengah, selain itu juga tidak sedikit masyarakat Waled yang mengungsi ke daerah Kuningan. Kemudian, ketika pasukan Belanda ingin memasuki wilayah Kuningan dengan melalui jalur Timur pada Juli 1947, mendapat perlawanan dari pasukan TNI Bataliyon I Pimpinan Mayor Ribut yang bermarkas di Sindang Laut dan kesatuan gabungan pimpinan Kapten Mustopa Sudirja dengan kekuatan yang juga diperkuat dengan pasukan laskar pejuang wilayah Kecamatan Waled, perlawanan tersebut dilakukan di sepanjang Bukit Maneungteung dan tepian Barat sungai Cisanggarung. Dengan dilakukannya Barikade terhadap jalan rute Ciledug-Cidahu-Kuningan (sepanjang jalan dekat bukit Maneungteung) dengan timbunan pepohonan yang ditebang maka semakin sulit pasukan Belanda untuk memasuki daerah evakuasi para pribumi.

Selain itu pihak tentara Belanda juga melakukan serangan terhadap Desa Ambit yang merupakan desa yang paling ujung di Kecamatan Waled dengan meluncurkan banyaknya kanon, selain itu juga terdapat rombongan mobil yang membawa para tentara Belanda untuk melakukan penggeledahan terhadap rumah-rumah warga. Diantara yang mengalami hal tersebut adalah ibu Ijah dan ibu Eunceuh yang rumahnya pernah didatangi oleh pasukan Belanda. Dalam penyerangan tersebut terdapat sosok pejuang yang gugur yaitu Mukaim adalah sosok pejuang pada saat itu jenazahnya ditemukan setelah beberapa hari dibiarkan tergeletak dan kemudian dimakamkan dilokasi tersebut, karena melihat kondisi yang tidak memungkinkan untuk dibawa pulang, maka jenazah tersebut langsung dimakamkan di tempat itu pula. Selain itu juga terdapat sosok pejuang hizbullah yang gugur yaitu Pak Une dan Pak Jupri. Sebenarnya saat kanon yang jatuh di wilayah Kalereun Dayeh (sebuah nama daerah perkebunan sebelah utara pemukiman penduduk) awalnya diluncurkan mengarah ke bukit Maneungteung karena pada saat itu tentara keamanan berada di Bukit Manuengteung. Setelah mendengar ledakan tersebut maka masyarakat sekitar mengungsi di area perbukitan, sugai, Gawir (Jurang), mereka mencari tempat yang paling aman untuk bersembunyi.

Pada saat itu juga terdapat selogan “Pemuda harus bersiap cepat” dan istilah “Ulama harus berdoa”, yang diartikan bahwa pemuda merupakan salah satu incaran pihak Belanda juga, ditambah keikutsertaan pemuda dalam suatu organisasi pertahanan yang mana keberadaan mereka sangat membahayakan bagi pihak Belanda, dan slogan ulama harus berdoa diyakini dengan doa-doa yang dipanjatkan oleh para ulama tersebut akan mudah dikabulkan oleh Allah. Pada suatu hari terdapat kesalahpahaman yang ditimbulkan oleh salahnya pengertian pihak Belanda terhadap pihak pribumi yakni penggunaan kata “Tempur”, pihak Belanda tersebut memahaminya dengan istilah perang. Sehingga dalam hal ini ketika Belanda menanyakan hal tersebut, sehingga ketika terdapat seorang laki-laki dan bertanya seperti itu maka Belanda langsung menembaknya, karena kesalahpahaman tersebutlah membuat suasana menjadi mencekam. Ketika terdapat segerombolan pasukan Belanda yang sedang melakukan patroli maka warga Kecamatan Waled khususnya Desa Ambit-Ciuyah mengucapkan “Kobe Tuan” sambil menundukan kepala yang artinya “Hormat kami tuan” kepada pasukan Belanda yang lewat. (Kabiro/Asr)

Penulis seorang aktivis mantan Ketua PAC GP Ansor Kecamatan Waled tahun 2002, Muharrik NU dan Dosen STID Al-Biruni Cirebon.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!
/