OCEHAN DI PINGGIR KALI (Cerbung) -

OCEHAN DI PINGGIR KALI (Cerbung)

0

OCEHAN DI PINGGIR KALI (Cerbung)
By Arifulhaq Atjeh
#Part 4#

Subuh Yang Berbeda

Hari itu, aku merasakan sesuatu yang sudah lama hilang dari hidupku. Semangat. Dengan langkah ringan, aku menuju m asjid, menikmati udara pagi yang masih segar dan penuh harapan. Tak ada lagi rasa ragu atau canggung seperti kemarin. Hari ini, aku merasa kembali pulang.

 

Setibanya di masjid, aku melihat wajah-wajah yang sudah tak asing lagi. Ada Pak Hasyim, imam masjid yang selalu dengan khusyuk memimpin shalat. Ada juga Bang Jalal, si muadzin yang suaranya selalu menggema indah, menenangkan hati setiap kali adzan berkumandang. Dan tentu saja, ada Pak Lobe. Begitu matanya menangkap sosokku, ia tersenyum lebar. “Mir! Kau datang lagi!” katanya.

 

Aku hanya tertawa kecil. “Tentu saja, Pak. Bukankah saya sudah janji?”

 

Pak Lobe menepuk bahuku, tersenyum penuh arti.

 

“Bagus, bagus. Kau tahu, Mir, kalau kau bisa istiqamah, hidupmu akan jauh lebih ringan.”

 

Aku mengangguk, meresapi kata-katanya. Sesuatu memang berbeda dalam hidupku

 

sejak kemarin. Seperti ada beban yang pelan-pelan terangkat, seiring dengan kembalinya langkahku ke masjid.

 

Shalat Subuh kali ini terasa begitu menenangkan. Aku benar-benar hadir—bukan hanya dalam raga, tetapi juga dalam jiwa. Setiap ayat yang dibaca imam, setiap sujud yang kurasakan, setiap doa yang kupanjatkan, semua menyatu dalam kedamaian yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata.

 

Setelah shalat selesai, aku duduk di salah satu sudut masjid, menikmati ketenangan yang mengisi ruangan. Cahaya pagi mulai masuk melalui jendela, menari-nari di atas lantai yang bersih, menciptakan kilauan indah. Suara dzikir jamaah terdengar lirih, menciptakan harmoni yang menenangkan. Aku menutup mata sejenak, mengucap dalam hati, Ya Allah, terima kasih telah membawaku kembali ke tempat ini.

 

Beberapa saat aku duduk dalam keheningan, sampai akhirnya aku merasakan ada yang duduk di sampingku. Pak Lobe. “Mir, kau tahu tidak, masjid ini punya banyak cerita,” katanya sambil menatap langit-langit masjid, matanya menerawang jauh.

Aku menoleh ke arahnya, penasaran. “Maksudnya, Pak?”

Ia tersenyum lembut, senyum yang penuh makna. “Masjid ini dulu hampir kosong. Dulu, hanya sedikit orang yang mau datang ke sini untuk berjamaah.

Banyak yang lebih memilih tidur, bekerja, atau sekadar duduk di warung kopi ketimbang shalat berjamaah.”

Aku terdiam, membayangkan masa-masa itu. Aku tahu betul bagaimana kebiasaan sebagian orang di sekitar sini. Bahkan aku pun pernah menjadi bagian dari mereka—lebih memilih hal lain daripada datang ke masjid.

 

“Tapi,” lanjut Pak Lobe, “sedikit demi sedikit, ada perubahan. Anak-anak muda mulai datang. Orang-orang tua yang dulu jarang ke masjid, kini mulai kembali. Dan kau tahu siapa salah satu yang dulu ikut menghidupkan masjid ini?”

 

Aku menatapnya heran. “Siapa, Pak?”

 

Pak Lobe menepuk pundakku sambil tertawa. “Kau, Mir!” Aku terkejut, terperanjat. “Saya?”

Pak Lobe mengangguk. “Iya, kau. Dulu, kau sering datang ke sini. Kau bahkan sering membantu membersihkan masjid, mengajak teman-temanmu untuk berjamaah. Tapi kemudian kau menghilang, dan masjid ini kehilangan salah satu pemudanya yang paling rajin.”

 

Hati ini terasa hangat, namun ada sedikit kepedihan. Tak kusangka, kepergianku dari masjid ternyata membawa dampak. “Tapi sekarang kau kembali,” lanjutnya, “dan itu yang terpenting.”

 

Aku mengangguk pelan. Seperti seorang anak yang tersesat dan akhirnya menemukan jalan pulang, aku merasa begitu.

 

Hari-hari berlalu, dan aku semakin merasa dekat dengan masjid. Setiap hari aku datang untuk shalat berjamaah, mendengarkan ceramah setelah Subuh, bahkan membantu membersihkan masjid bersama beberapa jamaah lainnya. Hidupku yang dulu terasa kosong kini mulai terisi dengan hal-hal yang lebih bermakna.

 

Suatu hari, setelah shalat Maghrib, aku duduk di serambi masjid bersama Pak Lobe dan beberapa jamaah lainnya. Kami berbincang santai—tentang kehidupan, pekerjaan, dan kisah-kisah para nabi.

 

Tiba-tiba, Bang Jalal, si muadzin, menatapku dan berkata, “Mir, aku senang melihat kau kembali ke sini.”

 

Aku tersenyum. “Kenapa, Bang?”

 

Bang Jalal menghela napas, kemudian berkata dengan serius, “Karena anak muda yang rajin ke masjid itu jarang. Banyak yang lebih memilih sibuk dengan dunia. Tapi kau datang kembali, dan itu memberi harapan.”

 

Kata-katanya seperti menusuk dalam. Aku terdiam, mencoba mencerna maknanya.

Pak Lobe mengangguk setuju. “Benar kata Jalal. Kau tahu, Mir, kalau satu orang kembali ke masjid, biasanya dia akan menarik orang lain juga. Kau bisa menjadi sebab kembalinya orang-orang ke jalan Allah.”

 

Aku menatap mereka, merasa perasaan yang sulit dijelaskan. Aku tak pernah berpikir bahwa kehadiranku di masjid bisa memengaruhi orang lain. Tapi kini, aku mulai mengerti. Perubahan, meskipun kecil, bisa memberi dampak besar bagi sekitar. Dan mungkin inilah alasan mengapa Allah membawaku kembali ke sini.

 

Malam itu, aku duduk sendiri di beranda rumah, menatap langit yang dipenuhi bintang. Aku merenung tentang perjalanan ini—bagaimana aku dulu jauh, lalu dipanggil kembali. Tentang bagaimana sakit yang kurasakan bukan hanya cobaan, tetapi juga peringatan.

 

Aku teringat Pak Lobe, yang dengan sabar selalu mengingatkanku, dan masjid ini yang selalu menungguku untuk kembali—tanpa menghakimi, tanpa mencela. Hati ini penuh rasa syukur. Aku menarik napas panjang, lalu bisikku pelan, “Ya Allah, terima kasih atas kesempatan ini.”

 

Aku menutup mata, merasakan kedamaian yang begitu dalam. Malam itu, aku tahu hidupku telah berubah. Dan aku berjanji, aku tak akan pergi lagi.

 

Hari-hari terus berlalu, dan aku semakin teguh dalam langkahku. Aku aktif di masjid, ikut membantu berbagai kegiatan keagamaan, dan mulai mengajak teman-teman lamaku untuk kembali ke masjid.

 

Beberapa dari mereka awalnya ragu, tapi seiring waktu, mereka mulai melihat perubahan dalam diriku. Suatu hari, seorang temanku bertanya, “Mir, kok lo sekarang rajin banget ke masjid?”

 

Aku tersenyum, lalu menjawab, “Karena aku akhirnya sadar, masjid bukan hanya tempat ibadah. Masjid adalah rumah bagi jiwa yang ingin kembali.”

 

Perlahan tapi pasti, aku melihat perubahan. Masjid yang dulu sepi kini mulai lebih ramai. Wajah-wajah baru bermunculan.

 

Anak-anak muda mulai kembali datang. Dan aku tahu, ini adalah awal dari sesuatu yang lebih besar.

 

Sesuatu yang akan terus berjalan, bahkan setelah aku tiada. Karena cahaya yang telah kembali bersinar, tak akan pernah padam.

Tamat.

#Medan@KolongSepi,Rabu, 05 Maret 2025 M/05 Ramadhan 1446 H

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!